Senin, 23 Maret 2009

OPERASI YUSTISI KEPENDUDUKAN DI JAKARTA

Mudik adalah salah satu tradisi yang dilakukan oleh kebanyakan masyarakat Indonesia. Mereka melakukan “acara pulang kampung” tersebut dalam rangka merayakan hari raya Idul Fitri dengan sanak keluarganya. Tak mengherankan bila kota yang ditinggalkan oleh pemudik menjadi lengang, terutama kota Jakarta. Kota yang dijuluki kota metropolitan ini memang menjadi tujuan utama para pengais rejeki, yang kebanyakan dari luar daerah, untuk mencari pekerjaan. Mereka menganggap bahwa terdapat banyak lapangan pekerjaan di Jakarta, jika dibandingkan dengan daerah mereka sendiri. Ketika mereka kembali ke Jakarta setelah melakukan mudik, tak jarang mereka membawa sanak keluarga untuk ikut mengadu nasib di Jakarta. Yang semakin disesalkan lagi, pada umumnya mereka tidak memiliki keahlian yang khusus. Urbanisasi pasca-Lebaran ini menjadi masalah baru bagi kota Jakarta. Untuk mengatasinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyelenggarakan Operasi Yustisi Kependudukan (OYK). Operasi Yustisi Kependudukan dilakukan untuk menjaring para pendatang yang tidak memenuhi persyaratan, yaitu tidak memiliki pekerjaan, tempat tinggal dan identitas yang jelas. Peraturan tentang kependudukan menyebutkan ancaman pidana 3 bulan atau denda Rp 5 juta bagi pendatang bodong alias tak punya selembarpun dokumen. (Tempo, 2008) Operasi Yustisi Kependudukan liburan Lebaran tahun 2008 ini dilakukan di 33 lokasi kedatangan warga seperti terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara.

Tindakan antisipasi pemerintah untuk menanggulangi urbanisasi masyarakat ke Jakarta sudah banyak. Bentuknya berupa pemasangan 105 spanduk, 29 ribu poster dan 50 ribu lembar seruan gubernur yang ditebar di 33 titik vital di antaranya terminal, stasiun dan pintu keluar wilayah Jakarta. Tahun ini, operasi yustisi kependudukan dilakukan satu minggu sebelum dan satu minggu setelah Lebaran. Pada 2007, operasi yustisi yang digelar pasca-Lebaran menjaring 1.140 pendatang yang tidak memenuhi syarat. Sebagian besar dari mereka dipulangkan ke daerah asal. (Tempo, 2008)

Operasi Yustisi Kependudukan telah menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat. Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, yang berada di pihak pro, mengatakan bahwa Jakarta sudah terlalu penuh penduduk sehingga sering muncul berbagai masalah sosial, mulai dari permukiman liar, pengangguran, kemiskinan, sampai kriminalitas. Berdasarkan data Dinas Kependudukan jumlah pendatang baru ke Ibu Kota tahun 2007 ada sebanyak 109 ribu, 2006 ada 124 ribu orang, 2005 ada 180 orang, 2004 ada 190 orang sedangkan tahun 2003 ada 204 ribu orang. Penambahan penduduk yang tidak memenuhi persyaratan justru akan memperberat masalah sosial di Jakarta (Kompas, 2008). Tapi berbeda dengan pernyataan yang disampaikan oleh LBH Jakarta. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai operasi yustisi yang akan dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta terkait pendatang baru merupakan tindakan diskriminasi. "Kita menyayangkan operasi yustisi yang terus dilakukan berulang oleh Pemprov DKI Jakarta setiap tahun, untuk mencegah kedatangan pendatang baru," kata Kepala Bidang (Kabid) Penelitian dan Pengembangan LBH Jakarta, Muhammad Gatot, kepada ANTARA News di Jakarta, Kamis 2 Oktober 2008. Ia mempertanyakan tindakan diskriminatif dalam operasi itu, yang selalu ditujukan kepada kaum urban yang kebanyakan orang miskin dan tidak dilakukan kepada orang kaya. Padahal, kata dia, semua orang mempunyai hak untuk mencari pekerjaan di Jakarta karena kota adalah tempat orang pedesaan mencari mata pencaharian.

"Operasi yustisi itu telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), selain itu negara kita kan bukan negara federal yang mengharuskan orang memasuki wilayah lain menggunakan paspor," katanya. Oleh karena itu, ia mengharapkan solusi untuk menangani pendatang baru bukan melalui operasi yustisi, karena operasi tersebut setiap tahun berulang tanpa penyelesaian. LBH Jakarta sendiri menilai ada dua solusi yang dapat digunakan, yakni tidak melakukan pengusiran kepada pendatang baru dan Pemprov DKI Jakarta harus bekerjasama dengan pemerintah pusat untuk menciptakan kemajuan pada kota lainnya. "Hingga nantinya masyarakat pedesaan itu tidak menuju Jakarta saja seperti yang saat ini terjadi, katanya. Ia juga menyayangkan adanya informasi bahwa mereka yang terjaring operasi yustisi dipulangkan, namun tidak diantar sampai ke kampung halaman. "Mereka ditinggalkan begitu saja di sejumlah lokasi, seperti, Terminal Pulogadung. Informasi itu diperoleh dari jaringan kami," katanya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh kelompok masyarakat yang mengatasnamakan Rakyat Miskin Menolak Operasi Yustisi. Mereka berpendapat bahwa kebijakan ini tidak menghormati hak asasi manusia. Oleh karena itu, mereka mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam gugatannya, penggugat meminta pemerintah menghentikan operasi yustisi dan mencabut Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, Perda Nomor 4 Tahun 2004, dan Instruksi Gubernur Nomor 13 Tahun 2006 tentang Operasi Yustisi. Akan tetapi, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan tersebut. Kelompok masyarakat itu mengajukan gugatan citizen law suit atas operasi yustisi yang dilakukan aparat. ”Penggugat tidak merepresentasikan (mewakili) kepentingan kelompok korban secara keseluruhan," kata ketua majelis hakim TB Tubagus saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ( TempoInteraktif.com, 2008).

Setelah membaca uraian di atas, penulis berpendapat bahwa Operasi Yustisi Kependudukan perlu dilakukan.

  1. Yang menjadi obyek Operasi Yustisi Kependudukan adalah warga yang tidak memiliki tempat tinggal, pekerjaan dan identitas yang jelas. Kebanyakan dari mereka pula, tidak memiliki keahlian yang cukup sehingga tidak akan mampu bersaing untuk mendapat pekerjaan. Keadaan ini diperparah dengan minimnya jumlah lapangan pekerjaan di DKI Jakarta. Hal ini tentu saja akan meningkatkan jumlah pengangguran. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat pengangguran di DKI Jakarta pada bulan Agustus 2007 mencapai 12,57 persen atau lebih tinggi dari level 10 tahun lalu 11,40 persen (ANTARA News, 2008). Bila Operasi Yustisi Kependudukan tidak dilakukan maka besar kemungkinan tingkat pengangguran di DKI Jakarta akan meningkat lebih dari 12 persen. Peningkatan jumlah pengangguran tentunya akan berimbas pada banyaknya gelandangan, pengemis dan pemukiman liar yang mengurangi keindahan tata kota. Hal ini juga berpotensi meningkatkan tindak kriminalitas di DKI Jakarta.
  2. Berdasarkan data pada tahun 2007, jumlah penduduk Jakarta menurut KTP adalah 7,5 juta. Jakarta dinilai sudah terlalu padat. Apa yang terjadi bila penduduk semakin banyak sedangkan ruang yang tersedia tidak ada? Yang terjadi adalah terciptanya perkampungan kumuh tak berizin di bawah jembatan dan di pinggir sungai. Akibatnya adalah terjadi penggusuran ketika nantinya tanah itu digunakan. Hal ini akan semakin menambah konflik antara pemerintah dan warga. Di satu sisi, pemerintah ingin melindungi warga namun di pihak lain, hal ini harus ditertibkan. Untuk itu, perlu dilakukan Operasi Yustisi Kependudukan agar hal ini tidak terjadi di kemudian hari.
  3. Harapan warga melakukan migrasi ke kota besar adalah untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik, misalnya memperoleh pekerjaan dan tempat tinggal. Namun, hal ini semestinya dapat mereka lakukan di daerah asal mereka.

Karena pentingnya Operasi Yustisi Kependudukan, maka penulis memberikan saran kepada pemerintah sebagai penentu kebijakan yaitu :

1. Maksud pemerintah melakukan OYK adalah baik, namun hal ini dipandang sebagai pelanggaran HAM oleh beberapa LSM. Hal ini dikarenakan aparat OYK dianggap bersikap arogan dan menelantarkan para pendatang yang terjaring. Untuk itu, ketika dilakukan OYK, warga yang terjaring disediakan sarana transportasi. Namun apabila pemerintah tidak sanggup untuk menyediakannya, setidaknya warga yang terjaring tidak ditelantarkan di mana ia terjaring. Disediakan tempat dimana mereka dapat menginap untuk menunggu alat transportasi kepulangan mereka.

2. Agar tidak terjadi urbanisasi ke DKI Jakarta, maka pemerintah daerah harus dapat menciptakan lapangan pekerjaan di daerahnya. Yaitu dengan cara memaksimalkan potensi daerah seperti pariwisata. Selain itu pemerintah daerah juga harus dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk berinvestasi seperti stabilitas keamanan dan ekonomi, kemudahan dalam administrasi sehingga para investor tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut. Pada akhirnya, akan tercipta lapangan kerja yang dapat menyerap tenaga kerja dari daerah tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar